Kamis, 31 Maret 2016

Hikmah Perjalanan Yogya-Sokaraja-Subang

Setiap pekerjaan tidak selamanya mulus, terkadang ada kendala yang menghadang. Begitu juga dalam setiap perjalanan tidak selamanya lancar, tapi semua harus dilalui walaupun macet panjang. Libur 3 hari di penghujung bulan Maret kami sekeluarga jalan-jalan ke Yogyakarta. Pulangnya kami mampir di Sokaraja, kampung suamiku. Ketika arah menuju Subang, kota tempat tinggal kami terjadi macet panjang diperjalanan. Ternyata libur 3 hari dimanfaatkan orang-orang untuk berlibur keluar kota. Stress menghadapi macet panjang hari Minggu siang, suami memilih minggir dan berhenti di daerah Bumi Ayu Brebes. Kita mampir di warung makan kecil pinggir jalan sambil istirahat. Tidak ada nama yang tertera di depan warung makan itu. Namanya juga warung makan kecil, klo pake nama itu pasti Rumah Makan ya ga..hehehe. Kebetulan warung makan itu lagi sepi, cuma kita yang lagi mampir. Ibu tukang warung ikut bergabung dengan kami sambil cerita untuk mengusir rasa bosan. Sampai akhirnya Ibu warung menceritakan kisah hidupnya yang menjanda karena ditinggal suami selama 15 tahun membesarkan 3 orang anak seorang diri. Dengan berurai airmata si ibu menceritakan kisah suka dukanya. Anak yang pertama sekarang sudah bekerja di Tangerang, alhamdulillah. Yang kedua masih SMK dan yang bungsu masih SMP. Sambil buka warung si ibu juga memproduksi kripik singkong. Karena musim hujan produk kripik terhenti karena singkong lagi mahal dan susah. Aku simpan nomer hp ibu warung, kalau dia produksi kripik singkong minta dikirim kerumahku. Karena kata dia kripik singkongnya enak, ada keinginanku untuk membantu menjualkan kripik singkong bu Romlah. Di ujung ceritanya, ibu warung yang bernama ibu Romlah itu memberikan pelajaran kepadaku. Kunci ketenangan dia menjalani hidup dan bisa membesarkan anak sendiri adalah berserah diri pada Allah. Walaupun ditinggal mati suaminya tapi tak sedikitpun keinginannya untuk menikah lagi. Katanya, walaupun ga punya suami tapi saya punya Allah tempat meminta. Setiap pagi dan sore tak pernah lupa membaca Muawizzatain sebanyak 3X. Rutin melaksanakan sholat tahajjud. Insya Allah, meskipun banyak ujian, hinaan, cibiran tapi dia tetap kuat menjalani. Semua kudengarkan dengan seksama. Ada hikmah yang kuambil dari ceritanya. Betapapun besarnya cobaan dan ujian hidup tetaplah berserah diri pada Allah. Bukankah dalam Al Qur'an Allah berkata bahwa Allah memberikan ujian dan cobaan itu kepada manusia yang sanggup menerima? Untuk selanjutnya manusia itu bisa mengambil hikmah dari ujiannya itu? Bu Romlah berkata bahwa dia tidak terbiasa bercerita kepada tamu yang singgah di warungnya tapi kepadaku dia merasakan ada kedekatan sehingga dia merasa nyaman bercerita pengalaman hidupnya...(geer...hehehe). Terima kasih pelajarannya bu Romlah. Ntar kalau jalan-jalan ke Jawa lagi kami mampir untuk berbagi cerita yang lain. Berharap musim kemarau cepat datang dan aku bisa menikmati kripik singkong bu Romlah yang katanya enak. Hmmmm.

Minggu, 22 November 2015

Cerita Minggu Siang

Hari Minggu aku diajak suami kerumah temannya, seorang anggota Polres Kabupaten Subang. Awalnya kupikir bertamu biasa karena suamiku hanya bilang kita mau kerumah pak Pendi, maka kusiapkanlah puding sebagai buah tangan. Ternyata kita ke kebunnya Pak Pendi dan aku baru tau kalau mereka janjian papahare atau makan bersama. Klo tau mau papahare, aku pasti menyiapkan bahan mentah buat dimasak, ngapain harus cape bikin puding. Tapi ya sudahlah, akhirnya aku kebagian beli bumbu dapur. Tempat pembakaran ikan dan ayam sudah disipkan. Ikan gurame hasil mancing dikolam,ayam yang diambil dari kandang langsung dipotong, jengkol dipetik langsung dari pohon, semua masih segar-segar. Hmmm. Aku kebagian beli bahan buat sambel dan jangan salah ikan asin tetap aja ada yang pesan. Tadinya aku mo beli pete karena sudah ada jengkol akhirnya ga jadi. Takut baunya berlipat-lipat.Hahaha..
Acara makan bersama kami berlangsung dengan sangat nikmat. Klo ga ingat bobot badan ingin rasanya nambah lagi dan lagi. Acara makan bersama berakhir disambut hujan deras. Kita ga bisa kemana-mana selain hanya duduk di saung sambil memandang ke kolam ikan, kandang ayam dan pepohonan disekitar kebun. Kebunnya luas sekali yang konon adalah warisan orang tuanya. Saat itu pikiranku melayang ke kampungku nun jauh di sebuah kampung kecil di Sumatera Barat. Dulu waktu nenek dan kakekku masih ada semua kami cucunya punya hak yang sama. Setahuku tidak ada seorangpun anak-anak nenek yang berani sok kuasa. Kami dengan riang bermain dikebun disekeliling rumah.Ga berapa jauh dari belakang rumah ada sawah. Dulu waktu kecil aku sering lari-larian dipematang sawah. Dan kalau musim panen tiba aku sering bikin terompet dari batang padi. Ada juga kolam ikan nenek yang terdapat disamping musholla. Kalau kami menyebutnya tabek ikan.
Tapi kini, semua hanya tinggal kenangan masa laluku. Setelah sekian lama kepergian nenek, keadaan jadi berubah. Karena masing-masing merasa dia yang punya rumah itu.Sekarang ibuku terpinggirkan seolah jadi orang kecil tak dianggap. Bagi kami itu tidak jadi masalah asalkan ibu masih tetap sehat dan nanti bisa punya rumah sendiri di Jakarta. Sekarang, kalaupun aku pulang ke kampungku itu sudah tidak ada tempat bermalam bagiku. Mungkin hanya bisa bermalam dikamar yang berbayar dan itupun ada dikota.
Rumah nenek adalah tempat aku dilahirkan. Tempat bersejarah yang mungkin tidak akan pernah kulupakan. Aku amat sangat hafal setiap sudut rumah itu walaupun sudah berulang kali direnovasi. Tapi kini sudah menjadi barang asing bagiku.
Sekarang jaman sudah berubah. Kalau orang lain pulang kampung dengan senang hati, aku malah berkecil hati. Mungkin malah gigit jari melihat tingkah orang-orang yang masih ada hubungan kekeluargaan denganku. Anakku tak akan bisa menikmati seperti yang aku rasakan dulu, menikmati kebun sendiri, berlarian dipematang sawah. Tapi Allah itu Maha Adil. Hari ini anakku bisa menikmatinya. Walaupun itu dikebun orang lain. Tak terasa bulir airmata jatuh dipipiku. Airmata yang kesekian kalau ingat semua itu.

Jumat, 20 November 2015

Tentang Kau


Tentang angkara yang membuat jiwa orang jadi poranda
Tentang buruknya pikiran yang membuat hati orang jadi nelangsa
Ini juga tentang busuknya sepotong jiwa yang membuat orang merana lara
Ya,tentang kau…
Yang suka memandang manusia lain sebelah mata
Yang senangnya membuat orang lain meneteskan air mata
Yang bahagia jika orang tertohok karena hinaannya
Yang selalu membuat sedih dan duka yang sangat lama

Wahai kau….
Yang merasa diri sesiapa
Seberapa tinggikah gunung yang kau tempati?
Seberapa megahkah kendaraan yang kau tunggangi?
Sadarkah kau bahwa itu hanya pinjaman?
Mengapa kau selalu saja bodoh mengartikan pemberian Tuhan padamu?
Apakah yang kau sombongkan?
Hidup ini hanya sementara kawan

Selama nafas masih mengalun..kehidupan didunia ini senantiasa bergulir
Roda kehidupan akan terus berputar
Kuyakin semua manusia akan dapat giliran
Semua hanya soal waktu….ya,waktu
Mari kita sama-sama menunggu.
Ketika giliranmu dan juga ketika giliranku.
Kalau sudah begini masihkah kau sombongkan siapa kamu?





Kamis, 19 November 2015

Curahan Hatiku

Setiap pagi, ketika melepas suamiku berangkat kerja selalu ada rasa bersalah didalam hatiku. Aku tidak tahu itu perasaan bersalah apa. Yang kurasakan adalah pedih yang teramat sangat. Aku sedih karena belum bisa membantu suamiku dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga kami. Walaupun suami berkali-kali bilang bahwa tugas utamaku adalah mengasuh dan mendidik anak kami yang tinggal satu-satunya. Ada rasa yang teriris dalam sanubariku. Rasa malu pada diri sendiri. Maafkan aku, suamiku. 
Sebetulnya banyak rencana dibenakku untuk melakukan usaha menambah penghasilan keluarga. Tapi selalu mentok soal modal. Aku yang memilih diam dirumah semenjak punya anak, artinya aku tidak boleh menyesali keputusan itu. Apalagi semenjak anak pertamaku meninggal , aku makin tidak bisa meninggalkan anak untuk bekerja di kantor. Sekarang anak laki-lakiku itu sudah kelas 2 SD.Bahagia rasanya melihat dia tumbuh sehat dan cerdas. Alhamdulillah, disekolah dia selalu rangking I. Kalau temannya ikut les ini,les itu maka anakku cukup belajar dengan aku,ibunya. Dengan kata lain aku adalah ibu sekaligus guru les dari anakku. Karena aku ingin total mengurusnya. Walau secapek apapun aku selalu menyempatkan waktu untuk mengajarinya setiap hari. Itu komitmenku. 
Seiring berjalannya waktu kebutuhan hidup semakin meningkat,aku juga banyak keinginan. Ingin ini, ingin itu. Apalagi dalam pergaulan ada saja yang baru ditawarkan teman. Sehingga gaji suami terkadang banyak aku habiskan untuk hal-hal yang tidak perlu.
Aku sadari bahwa bertahun-tahun aku hanya menghabiskan gaji suamiku untuk hal-hal yang tidak penting lalu dimana pemikiranku? Sebagai orang yang disekolahkan orang tuaku hingga perguruan tinggi apa saja yang aku pikirkan selama ini? Ya Allah ampuni hamba-Mu ini.
Meskipun suamiku tidak sekalipun meminta atau menuntut aku ikut mencari uang tapi aku harus membantunya. Umur kami semakin bertambah,anak kami semakin besar .Tidak mungkin selamanya seperti ini. Aku harus berubah.Aku harus memasang mindset bahwa hari-hariku adalah hari-hari yang menghasilkan. Karena penghasilan suamiku tidaklah banyak. Apalagi suami bekerja di perusahaan swasta. Bagaimana masa tua kami nanti jika aku masih saja berpangku tangan.
Dalam setiap doaku yang aku panjatkan kepada Allah, aku memohon dikuatkan dan diberikan semangat untuk terus maju memulai usaha apa saja, yang penting bisa menghasilkan uang. Harapanku semoga Allah SWT mendengar pintaku sehingga kelak terwujud apa yang kuinginkan. Aamiin.

Minggu, 17 Mei 2015

Pengalaman Hari Ini dengan Bapak Tukang Sol

Panas sekali hari ini.Serasa matahari diatas kepala.Sejak tadi aku perhatikan bapak tukang sol keliling itu berkali-kali mengelap keringatnya.Ada 2 sepatu dan 1 sandal yang sedang diperbaikinya.Sepatuku serta sepatu dan sandal kepunyaan anakku.
Aku suguhkan segelas air dingin untuknya.Tidak sampai 1 menit gelas itupun langsung kosong.Ketika aku tawarkan mengisi air lagi gelasnya yang sudah kosong,bapak itu menolak halus.
"Terima kasih,Neng.Sudah cukup."katanya
Sementara si bapak sibuk mengesol sepatuku,mataku selalu memperhatikannya.Setiap hari tak peduli hujan serta panas dia tempuh lorong-lorong gang sambil berteriak "solpatuuu".Begitu kira-kira bunyinya.Sampai sandal yang dia pakaipun menipis tak dirasa.
"Bapak tinggal dimana?Anak bapak ada berapa?Masih ada yang masih kecilkah?"Tanyaku ingin tahu.
"Bapak tinggal di Bogor.Kesininya naik kereta.Istri sudah meninggal setahun yang lalu.Ada anak 4 yang kecil umur 3 tahun diasuh kakaknya yang paling besar."Jawabnya.
"Ooh,maaf ya pak.Bukan maksud saya....Yang pasti Allah sayang sama istri bapak.Mudah-mudahan anak-anak bapak sehat semua ya."
"Makasih,Neng."
Tak terasa pekerjaan si bapak pun selesai.Rapi juga hasil kerjanya.Rasanya tak sayang selembar uang merah bergambar Soekarno-Hatta milikku berpindah kepadanya.
"Ga usah dikembalikan,Pak.Buat anak-anak bapak."
Awalnya si bapak tak mau dan merogoh kantongnya mencari uang kembalian.Tapi aku tetap menolak.
Akhirnya si bapak pun berlalu.Tapi aku masih terus memikirkan si bapak itu.Mudah-mudahan berkah uang yang baru saja dia terima dariku..Aamiin

Peristiwa Pagi Hari

Kalo ingat peristiwa tadi pagi sebelum berangkat mengantar anakku sekolah aku jadi ketawa sendiri.
Setelah bebenah dan menyiapkan sarapan aku baru ingat Akhtar belum bangun. Biasanya dia sudah bangun dan ikut sholat subuh. Kali ini dia kesiangan.
Sementara waktu berjalan terus, jam sudah menunjukkan pukul 05.45wib. Ini sudah siang mengingat jarak tempuh dari rumah ke sekolah lumayan jauh sehingga mengharuskan kita berangkat lebih pagi. Biasanya jam segitu kita sudah selesai sarapan. Akhirnya pelan-pelan ku tuntun Akhtar ke kamar mandi dalam keadaan mata tertutup. Lalu kubuka baju dan celananya. Kemudian kusiram tubuhnya perlahan.
Akhtar kaget dan langsung berteriak."Ayo astronot, maju terus". katanya sambil tangannya diacungkan keatas.

Langsung kujawab "Astronotnya sudah pergi dek,sekarang waktunya berangkat sekolah"
Mendengar suaraku rupanya Akhtar terbangun.Selesai mandi sambil memasang baju seragam sekolahnya, Akhtar bilang begini,"Bu, Akhtar kan lagi ngobrol sama astronot. Kenapa dibangunkan? Sekarang astronotnya jadi hilang".
"Ntar malam kan Akhtar bisa mimpi lagi.Sekarang waktunya berangkat sekolah".
"Tapi mimpinya pasti lain lagi.Astronotnya sudah ga ada".
Aku hanya tersenyum mendengarnya sembari bersiap-siap berangkat mengantarnya sekolah.
Anak-anak adalah masanya berimajinasi. Biarkan dia mengembangkan sendiri bagaimana dan seperti apa astronot itu. Seperti cita-citanya yang ingin keluar angkasa.
Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang dilangit, anakku. Tugas ayah dan ibu adalah berusaha untuk membimbingmu kearah cita-cita itu

Jumat, 24 April 2015

Haruskah salahku padanya?

Tak ada yang harus dipersalahkan
Andai kepedulian itu dari dulu ada
Mungkin kejadiannya tak seperti ini
Bisa saja lebih baik bahkan lebih buruk?

Tak ada yang bisa dipersalahkan
Sementara keadaan sedemikian rumit
Ibarat benang kusut tak berurai
Perjalanan demikian berliku dan berkelok-kelok
Onak dan duri seringkali menghalangi
Langkah kaki yang berjalan dalam gelap
Parah sekali

Tak ada yang boleh dipersalahkan
Semua tak lebih adalah jalan hidup
Hanya Allah yang Maha Tahu mengapa itu terjadi
Terlahir dan tumbuh sebagaimana adanya
Hidup dibawah himpitan ekonomi dan pandangan hina
Membuat siapa saja makin terpuruk dalam pikiran tak normal
Segitu rendahnyakah saya?
Mengapa itu harus terjadi kalau setiap orang berhak hidup bahagia

Tak ada yang pantas dipersalahkan
Kalau kejadian demi kejadian panjang telah berjalan dan berlalu
Dalam kehidupan yang terkadang manis meskipun lebih banyak pahitnya
Akankah trauma membuat kita malu untuk berekspresi?
Haruskah depresi yang selama ini mematikan ide dan kreativitas?
Setidaknya ini tidak boleh terjadi
Harus ada upaya untuk membangkitkan kematian semu dalam diri
Agar bisa hidup seiring dengan kehidupan keseharian yang dijalani.

Tak ada yang harus dipersalahkan
Ketika jalan hidup kita suram
Tidak pada mereka..
Namun.
Haruskah salahku padanya?